Melompat Ke masa Depan (dengan Sekolah Alam)
- 11:22 AM
- By jinggalifeschool
- 0 Comments
Project Almanact, satu-satunya film yang salah tonton. Salah karena mengajak anak-anak menonton. Akhirnya Ayahnya anak-anak keluar bersama dua bocilku. Tadinya kami berencana menonton Penjuru 5 Santri bersama tim guru kelas di Sekolah Alam Jingga. Konon film itu lumayan bagus dan ada beberapa bagiannya yang mirip secara konsep dengan penerapan di sekolah alam.
Overall saya tidak menyesal karena ada sisi-sisi yang bisa saya ambil sebagai insight. Setelah menonton, saya kumpulkan mereka dan sharing sedikit. Inti sharingnya adalah, “Kita tidak pernah mampu melompat ke masa yang lalu untuk memperbaiki hari yang akan datang. Kita juga tak akan bisa melompat ke masa depan untuk mengetahui apa yang akan terjadi. Satu hal yang dapat kita lakukan adalah menjalani berkah hidup ini sebaik mungkin. Manakala kehidupan kita jalani dengan mengeksplorasi potensi diri secara maksimal, yakinlah akan terjadi perubahan besar dalam kehidupan. Kita juga tidak akan pernah tahu jejak kebaikan yang kita buat saat ini dampaknya akan seperti apa pada diri sendiri, keluarga, atau masyarakat. Kita tidak pernah tahu akan seluas apa radius gerakan yang dilakukan secara terus menerus itu.”
Mendirikan sekolah alam memang bukan hal mudah. Sama dengan mendirikan sekolah lain pada umumnya, namun tingkat kesulitannya lebih tinggi. Model yang dikembangkan belum memiliki pola baku dan secara sistem belum mendapatkan tempat khusus di Dinas Pendidikan. Sekali pun jujur saja, menjalankan sekolah ini menjadi begitu menyenangkan. Kami tinggal mengembalikan pendidikan ini ke jalurnya: (1) pendidikan itu menyenangkan, (2) pendidikan itu sesuai dengan fitrah (3) pendidikan itu memfasilitasi bertumbuhnya insan ke misi penciptaan, yaitu menjadikan manusia sebagai Khalifah fil Ardh (pemimpin di muka bumi) dan Abdullah (Hamba Allah) yang memberikan rahmat bagi semesta alam.
Bagi lembaga-lembaga pendidikan yang meyakini model persekolahan seperti ini sebagai model yang mereka jalankan, maka mereka itu akan saling melirik lalu saling tertarik lalu berkumpul dalam satu kekuatan lalu melakukan gerakan riil yang akan menarik lebih kuat lagi institusi lain. Seperti magnet, maka tarikan ke arah tertentu akan menguat dan menciptakan bentuk lain yang lebih konstruktif dari inti gerakannya.
Saya sampaikan pada guru-guru yang saya cintai itu, gadis-gadis muda yang penuh energi (berasa tua :p), dan tentu saja bukan berasal dari Universitas Pencetak Guru, bahwa kegiatan mengajar yang mereka lakukan adalah momen-momen sejarah bagi murid kita. Mungkin ketulusan para guru ini benar-benar pada level “dewa” hingga tak hirau dengan penghargaan. Namun, dipercaya atau tidak, para juara di kelas kita adalah para juara di kehidupan. Murid kami yang tiap diri adalah juara, kelak akan sangat berterima kasih dengan ketulusan dan kekayaan akan pengalaman yang mereka lalui di kelas yang dipandu oleh guru-guru tulus itu.
Saya minta mereka merekamnya dalam tulisan, kelak akan kita cetak dan kita bagikan pada orang tua murid dan guru-guru lain di sekolah lain. Sederhana saja. Kami berharap gerakan kecil kami yang baru berusia 2 (dua) tahun ini akan menginspirasi. Kami berharap gerakan ini juga akan membuat gerakan yang lebih besar lagi dan berefek lebih luas dan dalam jangka waktu yang lama.
“Jangan pernah menganggap sepele satu kebajikan sederhana. Bisa jadi kebajikan sederhana itu adalah kekayaan jiwa yang akan membantu orang lain menemukan cahaya. Lakukan kebajikan itu terus menerus dan lakukan secara bersama, maka akan banyak jiwa yang diterangi dengan sinar dan menyinari sekelilingnya,” batinku meneguhkan semangat.
Apakah mengembangkan konsep sekolah alam itu sederhana? Bagi saya ya, sangat sederhana. Sesederhana proses mengenal Tuhan kita. Menjadi tak sederhana lagi karena benturan realita yang rumit. Menjadi kompleks ketika penyeragaman arah juang seolah jalan buntu. Menjadi di luar dari kenormalan karena hal ini sudah tak lazim.
Dulu Nabi Ibrahim membenarkan dzat tunggal Allah SWT melalui pengamatan terhadap fenomena alam. Saat ini manusia mengenal konsep tauhid dari doktrin guru di depan kelas. Kalau pun ada percobaan-percobaan ilmiah untuk menunjukan bukti kebenaran kalimat Allah dalam Al Quran, maka dikira keterlaluan. “Wong cukup diimani kok. Ngapain repot-repot uji coba?”
Kesederhaan yang mengembalikan pendidikan pada fitrahnya sering disandingkan dengan kemunduran ke masa lalu. Tapi, tahukah kita...orang-orang bule di barat sana menganggap pola ini adalah model modernisasi. Bertani di pekarangan di sebut sebagai Urban Gardening. Padahal Rasulullah sudah berabad lalu menyampaikan tentang bertanam, bertani merupakan bagian atau tindakan sedekah yang kemanfaatannya sangat panjang.
Di sekolah alam anak-anak diajarkan untuk mengalami dua hal di atas dan masih banyak lagi pengalaman belajar yang akan menghantarkan mereka pada pembentukan pribadi yang shaleh dan berdaya guna. Kelak, diharapkan anak-anak ini akan menjadi pemuda yang mengetahui bagaimana cara dirinya bereksistensi di dunia ini. Mereka akan berkembang sesuai dengan potensinya. Mereka bukan hanya akan bersinergi dengan kekuatan lokal di bumi tempat ia berpijak, tapi juga akan menarik kekuatan ruhiyah pada pusaran keyakinan yang teguh dan utuh. Di tempat mereka berkembang nanti akan kita temui ketulusan tanpa niat terselubung, kebahagiaan tanpa senyum kamuflase, kemakmuran tanpa ada dominasi atau pun monopoli di bidang-bidang kehidupan. Keadilan tanpa permainan kekuasaan.
Ya. Di sekolah alam akan kita saksikan apa-apa yang bertumbuh di bawah hujan dan apa-apa yang teguh di bawah badai. Salam pendidikan. (Sumber)
0 comments