Maret 2014,
di Rumah Perubahan-Bekasi, saat acara Sarasehan Pengelola Sekolah Alam Nusantara,
peserta berkesempatan mendapatkan kuliah inspiratif dari Prof Rhenald Kasali,
sang pemilik tempat yang juga dikenal sebagai motivator. Salah satu yang
disampaikan oleh beliau yang sangat menarik bagi saya dan istri adalah cerita
tentang “memaksa” mahasiswa untuk “go internasional”.
Rhenald
Kasali menceritakan bahwa mahasiswa di kelasnya hanya 5% yang sudah memiliki
paspor. Padahal 90% saat ditanya sudah pernah merasakan naik pesawat. Ini
berarti mayoritas mereka hanyalah pelancong lokal. Maka, berbeda dengan
kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas
yang ia asuh ia memulainya dengan memberi tugas mengurus paspor. Setiap
mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global.". Tanpa
paspor manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi
pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga
karena punya paspor.
Setelah itu
mereka bertanya lagi, “untuk apa paspor ini?”
Ia menjawab,
“pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura,
Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa
dijangkau.”
"Uang
untuk beli tiketnya bagaimana, pak?" Saya katakan saya tidak tahu.
*Dalam hidup
ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup,
apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang
pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint.
Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak
mungkin. Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan
juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan atau bagi mereka yang tak pernah
melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran
dan buang-buang uang. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta
kesempatan untuk maju. Kita bisa mendapatkan sesuatu yang yang tak terbayangkan,
pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun
beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong,
dan diantaranya adalah kelompok yang dikenal sebagai backpackers. Mereka adalah
pemburu tiket dan penginapan super murah bahkan tidur di bandara/terminal, menggendong
ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung
sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya
dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa
berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian
keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Beliau memberikan
tenggat waktu 1.5 bulan untuk bepergian (jalan-jalan) ke luar negeri
sendirian. Masing-masing mahasiwa harus pergi ke negara yang berbeda
tujuannya. Tujuan memberi tugas ini untuk mengaktifkan Self Driving, kemampuan men-drive
diri untuk menemukan pintu keluar dari kesulitan yang dihadapi. Inilah yang disebut
sebagai kemampuan metakognisi.
Ketika kita nyasar di wilayah baru yang asing, dan sendirian, kira-kira apa
yang bisa kita lakukan. Otak kita akan aktif mencari solusi. Prof. Rhenald
mengutip filsafat Columbus (penemu benua Amerika) : "Kalau saya tak pernah mau
kesasar, kalian tak akan pernah menemukan jalan baru (jalan penemuan Tanjung
Harapan yang posisinya lebih dekat dengan India)". Kesasar
sebenarnya sebuah metafora dari kesulitan hidup. Kita tahu sendiri, jutaan
manusia Indonesia sangat takut menjelajahi dunia baru. Bepergian saja harus
mencari teman, berlibur pun ke tempat yang selalu sama. Padahal kesulitan hidup
mampu mengubah karakter manusia menjadi lebih petarung.
Ini adalah bagian
dari "kurikulum" pelajaran kehidupan, belajar langsung dari
pengalaman, salah satu pengertian dari konsep BBA. Saya dan istri usai acara sepakat
bahwa materi yang disampaikan oleh Rhenald Kasali “sekolahalam Banget”. Kenapa?
Karena sebagaimana Bang Lendo Novo sering menjabarkan bahwa konsep sekolahalam diambil
dari Sirah Rasul. Dimana saat usia 12 tahun (masuk usia SMP) Rasulullah sudah
ikut magang bersama pamannya hingga ke berbagai negara. Lalu saat usia Aqil
Baligh, Rasulullah sudah menjadi pebisnis tingkat regional bukan lagi lokal.
Saya dan
Istri bahkan yakin bahwa sebenarnya ini bisa diterapkan lebih dini ke
murid-murid sekolahalam. Karena murid-murid sekolahalam sejak dini sudah
belajar survival, mandiri dan berpetualang lewat berbagai macam kegiatan dalam
kurikulumnya. Mulai dari SA Student Scouting (SASS), OTFA, Trekking, Ekspedisi,
dll. Paling tidak bisa dimulai di usia yang sama saat Rasulullah memulai
perjalanan ke luar negeri bersama pamannya, usia 12 tahun. Jika saat itu
Rasulullah “magang” bersama pamannya yang berdagang, maka siswa-siswi
sekolahalam pun bisa membawa barang-barang khas Indonesia untuk dijual di luar negeri.
Tentu dalam jumlah sedikit agar mudah dibawa dan tidak kena bea cukai. Anggap saja
sampel awal, siapa tahu bisa bertemu orang yang tertarik untuk serius dan
menjajaki kemungkinan mengimpor produk tersebut. Atau jika tidak berdagang,
yang bisa dilakukan adalah anak-anak peserta Edutrip diberi tugas untuk
berinteraksi dengan sebanyak-banyaknya orang yang ditemui saat di luar negeri. Dan
itulah yang dilakukan oleh siswa-siswi peserta Jingga Edutrip.
~ “Di
setiap kebangkitan pemudalah pilarnya. Di setiap pemikiran pemudalah pengibar
panji-panjinya.” (Hasan Al Banna) ~
Sayangnya
memang, sistem pendidikan di Indonesia saat ini hanya membentuk remaja, bukan
pemuda. Yang bahkan hingga sudah lulus kuliah masih belum mampu mandiri dan
semua, “kata orangtua saya...”. Beberapa kali kesempatan berinteraksi dengan
anak-anak SMA yang konsultasi tentang hasil Talents Mapping mereka, selalu ada
kalimat, “Kata orangtua saya...”, “Orangtua saya maunya....”. Duh, anak-anak
ini kasihan sekali mereka. Padahal mereka dididik sejak kecil penuh dengan
pendidikan agama dan kognitif lainnya, bahkan dengan sistem boarding atau
pesantren. Tetapi tanpa disadari, itu hanya membentuk REMAJA yang rajin shalat,
pandai tilawah, memakai jilbab, rajin puasa dan sebagainya. Ya... membentuk
remaja “Islami”, bukan dewasa Islami ! Padahal...Tolong disadari bahwa ada persoalan
yang lebih esensial daripada sekadar mengajarkan “agama” kepada anak-anak kita.
Ini tidak semata-mata tentang pendidikan shalat, puasa, tilawah AlQur’an,
hafalan hadits arba’in, menutup aurat dsb. Ini adalah tentang mempersiapkan
anak-anak kita menjadi generasi aqil-baligh : Dewasa mental dan fisik, Mandiri
dan tangguh. Dan itu adalah perintah agama...
Maka ketika
kemudian uni Loula dan JSAN memunculkan ide tentang Edutrip, tanpa ragu
beberapa orang fasilitator dari Sekolahalam (Salam) Jingga Lifeschool termasuk
istri saya mendaftar untuk ikut. Uniknya mereka belum punya paspor dan ikut
dengan biaya pribadi. Setelah mengikuti Edutrip ke dua negara, mereka pulang
dengan membawa banyak inspirasi dan ide. Diawali dengan membuat “Jingga
Explorer Club” (JEC) hingga membuat program Jingga Edutrip (JET) untuk siswa SM
dan Fasilitator. Kenapa Fasilitator? Karena jika siswa-siswi Salam Jingga di
JEC saja sudah punya paspor dan merasakan pengalaman ke luar negeri, tentu para
fasilitator pun harus.
Maka
disusunlah kurikulum dan itinerary perjalanannya. Awalnya JEC dibuat hanya
untuk siswa SD kelas besar dan SM, tapi ternyata banyak orangtua siswa SD Kelas
kecil yang request. Akhirnya JEC dibagi menjadi tiga, JEC Junior, Senior dan
Advance. Saat ini baru ada JEC Junior dan Senior. Setiap bulan ada agenda
melakukan petualangan ke berbagai tempat. Untuk JEC Junior, penjelajahan dan
petualangan baru dilakukan di sekitar Bekasi dan Jakarta. Sementara JEC senior,
sambil mencicil dan menabung agar bisa trip ke luar negeri, melakukan
petualangan di sekitar Jakarta dan Jawa Barat.
Jingga
Edutrip goes to Malaysia adalah program jangka menengah yang dibuat untuk siswa-siswi
SM sebagai bagian kurikulum perjalanan ke luar negeri. Oktober adalah waktu yang dipilih agar
waktunya cukup untuk mereka mengumpulkan uang dan mencicil, serta agar dapat
tiket penerbangan dan penginapan yang murah karena dipesan sejak jauh hari. Sementara
Kuala Lumpur – Melaka dipilih karena yang terdekat dan masih serumpun serta
memiliki beberapa kearifan yang bisa diambil sebagai inspirasi mereka di masa
depan tentang berbagai hal. Sementara target jangka panjangnya adalah mereka
bisa live in di luar neger dan saat di usia 17 tahun mereka sudah mampu
melanglang buana secara mandiri bukan lagi sebagai observer melainkan sebagai pebisnis.
Selasa dini
hari, 27 Oktober 2015 perjalanan bersejarah mereka dimulai. Bahkan sejak 2
bulan sebelumnya, mereka sebenarnya sudah memulai kisah (kurikulum edutrip) mereka.
Dimulai dari mencicil biaya perjalanan dan menabung untuk uang saku, membuat
paspor (walau masih didampingi karena masih dibawah 16 tahun), mengerjakan
berbagai worksheet, browsing tempat-tempat yang akan dituju, hingga ke money
changer. Hanya dengan 3 juta rupiah mereka bisa mengeksplorasi berbagai kearifan yang ada selama 3 hari 2 malam.
Bagaimana
kisah seru petualangan rombongan Jingga Edutrip kloter pertama ini selama tiga
hari mengexplore Kuala Lumpur – Melaka? Nantikan di tulisan selanjutnya ya...
Edutrip ini
memang bukan sebuah perjalanan biasa, melainkan perjalanan yang akan membentuk
kepribadian, membuka mata dan hati tentang peta kehidupan, menjalani proses
dengan mengalami putaran kehidupan di luar zona nyaman. Bukan kenyamanan, kesenangan atau sekadar liburan, tapi total education. Dan yang pasti, sejauh apapun tujuannya, membangun Indonesia di masa depan tetap jadi cita-cita utama bagi anak-anak ini. Perjalanan-perjalanan ini akan membuat anak-anaknya ini telah siap menghadapi dunia. Bukan dengan bermental penumpang. Namun, berani menjadi pemimpin.
Jingga
Lifeschool, SekolahAlam yang baru belajar bertunas ini berusaha menyajikan
pembelajaran terbaik bagi seluruh elemen yang terlibat di dalamnya. Dengan metode
sederhana. Alami dan renungkan. Temukan jawaban dan lakukan. Semoga apa yang
telah kami lakukan menjadi penyebab bagi pembentukan kepribadian baik dan kuat.
Semoga Allah SWT menjadikan program ini wasilah menuju keridhaan-Nya dan
menjadi inspirasi bagi siapapun. Wallahu’alam...
Salam Jingga
Marsahid AS
Teacherpreneur
(Guru & Pebisnis)
@Sekolah
Alam Jingga Lifeschool
HalalMart
HPAI
0 comments